Oleh : Dwi Angga Oktavianto (SMKN 1 Binuang Kabupaten Tapin, Kalimantan Selatan)
Malam Jum’at Kliwon, 12 Mulud 1959, suasana diskusi di sebuah ruang sederhana penuh dengan aura mistis. Asap kopi panas berbaur dengan desir kipas tua yang berputar pelan. Topiknya bukan sembarangan: urgensi menjadikan geografi sebagai mata pelajaran wajib. Dari pertemuan itu, lahir rancangan awal sebuah Policy Brief yang rencananya akan diajukan ke berbagai pihak, hingga ke meja DPR.
Namun, di balik hiruk pikuk diskusi formal, penulis selaku peserta diskusi (tetapi saat itu hanya menjadi pendengar setia) justru terpaku pada satu kalimat dalam Executive Summary: “Geografi dikenal sebagai mother of science.”
Kalimat ini seolah mantra lama yang terus diulang sejak penulis belajar geografi saat duduk di bangku SMA. Tapi benarkah kalimat tersebut? Atau sekadar jargon buku teks yang tanpa sadar kita warisi?
Jejak Misterius Sang “Ibu Ilmu”
Ketika mencari rujukan, internet sering kali menggiring kita pada klaim bahwa istilah ini datang dari Preston E. James—geografer Amerika terkenal, penulis All Possible Worlds: A History of Geographical Ideas. Tapi ketika ditelusuri ke karya aslinya, tak ada bukti ia pernah menulis persis begitu.
Mitos pun tumbuh: mungkin James-lah yang mengatakannya, atau mungkin hanya “disisipkan” oleh buku paket Geografi SMA. Sahabat belajar, adakah di antara kalian yang pernah menemukan kutipan James yang otentik soal ini?

William D. Pattison dan Empat Tradisi
Titik terang datang dari William D. Pattison. Dalam artikelnya The Four Traditions of Geography (Journal of Geography, 1964), ia menulis bahwa geografi memiliki empat tradisi:
- Spatial Tradition – pola ruang dan lokasi,
- Area Studies Tradition – studi wilayah tertentu,
- Man-Land Tradition – interaksi manusia dan lingkungan,
- Earth Science Tradition – kajian bumi, air, udara, dan hubungan dengan matahari.
Nah, dalam tradisi keempat inilah muncul kalimat: “Geography is the mother of sciences.”
Artinya, geografi dianggap induk dari ilmu-ilmu bumi, dari mana lahir geologi, meteorologi, klimatologi, bahkan biologi lingkungan.
Hartshorne: Geografi dan Sejarah = Ibu Ilmu
Richard Hartshorne, seorang tokoh besar lain, menulis dalam The Nature of Geography (1939) dan juga dalam Annals of the AAG:
“It was natural enough that each of these [history and geography] should have become a ‘mother of sciences.’ The attempt to integrate all kinds of phenomena in space or time leads to the discovery of many kinds of phenomena, any of which may then appear to be worthy of study in themselves…”
Bagi Hartshorne, geografi dan sejarah sama-sama bisa disebut ibu ilmu. Alasannya sederhana tapi mendalam: keduanya berusaha memahami realitas secara naif (naïve sciences), melihat apa adanya fenomena di ruang (geografi) dan waktu (sejarah). Dari integrasi inilah lahir “anak-anak ilmu” (daughter sciences)—geologi, klimatologi, antropologi, sosiologi, dan lain-lain.
Mitos atau Fakta?
Dengan bukti ini, jelas bahwa istilah “Geography is the mother of sciences” bukan sekadar slogan kosong. Ia punya dasar akademis kuat, terutama dari Pattison dan Hartshorne. Namun, jika ada yang bilang konsep ini dari Preston E. James, maka itu kurang tepat. James memang menyebut geografi sebagai ilmu tertua, tapi bukan sebagai “mother of science” secara eksplisit.
Sentuhan Mistis Geografis
Bayangkan Nusantara: ribuan pulau terbentang bagai untaian zamrud di khatulistiwa. Di setiap ruang, ada cerita—letusan Merapi di Pulau Jawa, banjir di Kalimantan, atau pergeseran lempeng di Sulawesi. Semua itu bukan sekadar “fakta geografi”, tapi bagian dari satu kesatuan ilmu yang memeluk bumi sebagai ruang hidup manusia.
Maka, ketika kita menyebut geografi sebagai mother of sciences, sejatinya kita mengakui bumi sebagai guru pertama, sebagai kitab terbuka yang mengajarkan hukum alam dan sosial sejak manusia pertama menatap langit dan mencari arah.
Penutup
Apakah geografi benar-benar “ibu segala ilmu”? Jawabannya: ya, dalam makna historis dan filosofis. Ia bukan hanya peta dan hafalan, tapi rahim tempat lahirnya cabang-cabang pengetahuan lain.
Kini, di tengah krisis iklim dan tantangan global, ungkapan ini bukan sekadar romantisme akademis. Ia adalah pengingat: tanpa geografi, bangsa kehilangan ibu yang membimbing arah.
Catatan Kaki
- James, P. E. (1981). All Possible Worlds: A History of Geographical Ideas. New York: Wiley.
- Pattison, W. D. (1964). The Four Traditions of Geography. Journal of Geography, 63(5), 211–216.
- Hartshorne, R. (1939). The Nature of Geography. Annals of the Association of American Geographers, 29(3), 173–412.