Oleh : Dony Purnomo (Kepala Balai Literasi dan Riset Geonusa - Guru Geografi SMAN 1 Purwantoro)
Dalam era digital yang semakin berkembang, dunia pendidikan menghadapi tantangan besar akibat fenomena brainrot, istilah yang merujuk pada penurunan kualitas berpikir akibat konsumsi konten instan dan dangkal. Keberadaan media sosial dengan konten berformat singkat dan cepat menggeser kebiasaan belajar yang berbasis refleksi mendalam menjadi pola pikir serba instan. Siswa cenderung lebih tertarik pada informasi cepat yang bersifat hiburan dibandingkan dengan pembelajaran yang membutuhkan pemahaman mendalam.
Geografi sebagai mata pelajaran yang memerlukan analisis spasial, pemahaman sistematis, serta keterampilan berpikir kritis, sangat terdampak oleh fenomena ini. Tanpa pendekatan yang tepat, pembelajaran geografi bisa kehilangan esensi akademiknya dan hanya menjadi hafalan fakta geografis tanpa pemahaman mendalam.

Fenomena Brainrot dan Dampaknya dalam Pembelajaran Geografi
Brainrot terjadi karena paparan berlebihan terhadap informasi instan dan dangkal, yang menyebabkan beberapa hal diantaranya :
Pertama, Penurunan daya konsentrasi. Siswa kesulitan mempertahankan fokus dalam mempelajari konsep geografi yang kompleks, seperti interaksi antara faktor fisik dan manusia dalam suatu ekosistem.
Kedua, Ketergantungan pada informasi cepat. Mereka lebih suka mencari jawaban instan daripada melakukan eksplorasi mendalam terhadap suatu fenomena geografis.
Ketiga, Kesulitan dalam berpikir kritis dan analitis. Pemahaman geografi menuntut siswa untuk menghubungkan berbagai fenomena seperti perubahan iklim, urbanisasi, dan geopolitik. Namun, kebiasaan konsumsi konten instan membuat mereka kurang mampu melihat keterkaitan antar-konsep tersebut.
Keempat, Menurunnya kemampuan problem-solving. Geografi mengajarkan siswa untuk memahami masalah global, seperti mitigasi bencana alam atau perencanaan kota. Namun, brainrot membuat mereka lebih pasif dan tidak terdorong untuk mencari solusi berbasis data dan pemikiran mendalam.
Kurikulum Merdeka dan Pendekatan Deep Learning dalam Pembelajaran Geografi
Kurikulum Merdeka menekankan fleksibilitas dalam pembelajaran dengan memberi ruang bagi guru dan siswa untuk mengeksplorasi berbagai metode yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Dalam konteks geografi, pendekatan deep learning dapat diterapkan untuk mengatasi dampak negatif brainrot dan meningkatkan kualitas pembelajaran.
Pendekatan deep learning dalam pendidikan tidak hanya sekadar menghafal, tetapi juga melibatkan beberapa elemen penting, diantaranya :
Pertama, Pemahaman konseptual yang mendalam. Siswa tidak hanya belajar tentang fenomena geografis secara permukaan, tetapi juga memahami keterkaitannya dengan faktor lain, seperti ekonomi, politik, dan budaya.
Kedua, Pembelajaran berbasis eksplorasi dan penemuan. Alih-alih hanya membaca atau mendengar penjelasan guru, siswa aktif mencari informasi, melakukan riset, dan menarik kesimpulan sendiri.
Ketiga, Konektivitas antar-konsep. Geografi bukan hanya tentang lokasi dan peta, tetapi juga tentang hubungan manusia dengan lingkungannya. Misalnya, bagaimana urbanisasi memengaruhi perubahan iklim atau bagaimana letak geostrategis suatu negara berpengaruh terhadap perekonomiannya.
Keempat, Penerapan dalam kehidupan nyata. Siswa diajak untuk memahami bagaimana geografi berperan dalam kehidupan mereka sehari-hari, seperti memahami pola cuaca, membaca peta digital, atau menganalisis kebijakan tata ruang kota.
Deep learning sebagai solusi dalam pembelajaran geografi
Untuk menerapkan deep learning dalam pembelajaran geografi sesuai dengan Kurikulum Merdeka, beberapa strategi berikut dapat digunakan :
Pertama, Project-based learning (Pembelajaran berbasis proyek). Metode ini mengajak siswa untuk mengerjakan proyek yang mengharuskan mereka menggali informasi lebih dalam, misalnya: menganalisis perubahan tata guna lahan di daerahnya. Siswa bisa membandingkan peta daerah mereka dari tahun ke tahun dan mencari tahu faktor penyebab perubahan tersebut. Outputnya, siswa dapat membuat peta perubahan penggunaan lahan.
Kedua, Problem-based learning (Pembelajaran berbasis masalah). Siswa diberikan suatu permasalahan nyata dan diminta mencari solusinya, seperti: Bagaimana kota-kota di Indonesia bisa mengurangi risiko banjir?. Mereka harus memahami faktor penyebab banjir, mempelajari kebijakan pemerintah, dan mengusulkan solusi berbasis data.
Ketiga, Pemanfaatan teknologi secara mendalam. Alih-alih hanya mengonsumsi informasi instan, siswa diajak untuk menggunakan teknologi dalam eksplorasi yang lebih mendalam, seperti : menganalisis citra satelit dari google earth atau landsat. Mereka dapat mempelajari deforestasi, urbanisasi, atau perubahan garis pantai dari waktu ke waktu.
Keempat, Diskusi kritis dan debat geografis. Siswa diajak untuk mendiskusikan isu-isu geografis, seperti: Apakah globalisasi menguntungkan atau merugikan negara berkembang? Bagaimana geopolitik mempengaruhi krisis energi dunia?. Melalui diskusi ini, siswa terbiasa berpikir kritis, menghubungkan berbagai faktor, dan melihat permasalahan dari berbagai perspektif.
Kelima, Pembelajaran kontekstual dan studi lapangan. Belajar geografi tidak bisa hanya di dalam kelas. Siswa bisa diajak: mengamati perubahan ekosistem di wilayah sekitar. menganalisis pola pemukiman dan infrastruktur di kota mereka. Dengan melihat langsung, pemahaman mereka menjadi lebih nyata dan mendalam.
Di tengah gempuran brainrot, pembelajaran geografi harus bertransformasi agar tetap relevan dan efektif. Kurikulum Merdeka memberikan fleksibilitas yang memungkinkan diterapkannya pendekatan deep learning untuk memperdalam pemahaman, meningkatkan keterampilan analitis, dan menghubungkan konsep secara luas.
Dengan strategi yang tepat, pembelajaran geografi tidak hanya mampu mengatasi dampak negatif brainrot, tetapi juga membentuk siswa yang berpikir kritis, analitis, dan siap menghadapi tantangan global. Ini bukan hanya tentang mengajarkan geografi, tetapi juga membentuk pola pikir yang lebih cerdas dan reflektif dalam menghadapi dunia yang semakin kompleks.
Setuju sekali dengan bapak
tulisannya menarik dan jadi bahan diskusi bersama oleh guru-guru se Indonesia